Kain Tenun Ikat Dayak
daerah. Para penenun ahli semakin tua dan jumlahnya semakin sedikit, sementara keahliannya tidak diturunkan dan terancam punah. Kemiskinan juga berperan dalam pupusnya tradisi menenun. Tulisan ini menceritakan bagaimana upaya memperkuat kapasitas perempuan berhasil memperkuat ekonomi keluarga dan menghidupkan kembali tradisi memenun kain ikat Dayak di Sintang, Kalimantan Barat.
Sintang: Masyarakat Petani dan Peladang Kabupaten Sintang merupakan satu dari 12 kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat. Terletak kurang lebih 395 Km dari Ibukota propinsi, Pontianak, dan berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia, Sintang dapat dicapai dari Pontianak melalui jalan darat dengan waktu tempuh sekitar 9 jam. Kabupaten seluas 22.113 km2 atau 15 % dari luas total Propinsi Kalimantan Barat ini dihuni oleh 490.359 penduduk dimana 49% diantaranya adalah perempuan. Tingkat kepadatan penduduknya mencapai 22 jiwa/km2.
Mayoritas masyarakat Sintang berasal dari etnis Dayak. Mereka tersebar di sepuluh kecamatan dan tinggal di kampung-kampung yang masih terbatas aksesnya terhadap transportasi, pendidikan, kesehatan maupun pasar. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani dengan mengelola lahan untuk ladang, kebun karet, dan kebun buah-buahan. Dari berladang, penduduk memperoleh beras sebagai makanan pokok. Akan tetapi hasil berladang cenderung menurun karena lahan yang dapat dikelola menjadi ladang semakin sedikit dan semakin jauh lokasinya. Hasil panen dalam setahun rata-rata hanya bisa memenuhi kebutuhan untuk 3 sampai 5 bulan saja. Hanya beberapa kepala keluarga saja yang hasil panennya cukup untuk kebutuhan satu tahun.
Peran perempuan dalam kegiatan pertanian ini sangat besar. Hampir 70% dari rangkaian kegiatan berladang dilakukan oleh perempuan. Mulai dari persiapan lahan, menyemai, menanam, memelihara, hingga panen. Sedangkan kaum laki-laki biasanya hanya terlibat dalam mempersiapkan lahan, menebang dan sesekali memanen. Selebihnya mereka bekerja di luar sektor pertanian. Pekerjaan perempuan tidak terbatas pada urusan berladang saja. Mulai pukul empat pagi mereka sudah harus ke kebun karet untuk menoreh hingga pukul 10 atau 11 siang. Siang hari mereka kembali ke ladang untuk memelihara tanaman padi dan sayur. Dan baru pulang ke rumah pada sore hari untuk membenahi rumah dan menyiapkan makan malam. Dari menoreh karet, mereka memperoleh sedikit penghasilan tambahan. Akan tetapi harga karet
sangat fluktuatif dan posisi tawar petani sangat lemah. Penghasilan tambahan lainnya diperoleh dari membuat anyaman dan tenunan.
Seni Budaya Tenun Ikat Dayak dalam Krisis Kain tenun ikat Dayak merupakan salah satu seni budaya yang dikembangkan oleh komunitas etnis Dayak di Kalimantan Barat.
Etnis Dayak merupakan etnis tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Mereka tersebar di sebagian besar Kalimantan, Sarawak dan Brunei. Namun tidak semua sub-etnis Dayak ini dapat
melakukan kegiatan menenun. Sub-etnis Dayak Iban, Kantuk, Desa, Ketungau dan Mualang di Kalimantan Barat dikenal sebagai penghasil kain tenun tua. Di kalangan kolektor, kain tenun ikat
Dayak sering dianggap sebagai salah satu kain terindah yang ada di dunia.
Tenun ikat adalah sebuah teknik menenun dimana pola kain dibuat dengan mengikat benang dengan benang penahan celup. Benang yang telah diikat ini dicelup berkali kali untuk memperoleh pola yang diinginkan. Benang yang telah berpola ini lalu ditenun. Teknik
ikat disebut sebut sebagai teknik celup tertua di dunia. (Gillow, 1999) Pada dengan akhir tahun 1980-an kain tenun ikat sudah semakin sulit dijumpai. Banyak kain tua yang dijual kepada pembeli dari luar seiring dengan populernya kain ini di Eropa dan Amerika. Di lain pihak, penenun semakin sulit dijumpai di kampung-kampung. Orang-orang tua yang pintar menenun sudah semakin berkurang, dan keahliannya tidak diturunkan kepada generasi muda. Kain-kain tua hanya bisa dijumpai pada keluarga-keluarga yang masih menghargai kain sebagai warisan nenek moyang yang harus disimpan.
Menghidupkan Kembali Tenun Ikat Dayak
Prihatin akan keadaan ini, pemerintah setempat dan individu (seperti Pastor Jacques Maessen) secara perlahan mulai membangun beberapa kegiatan kecil melibatkan beberapa orang atau keluarga yang masih mau dan tertarik untuk menghidupkan kembali kegiatan menenun. Berbagai pendekatan dilakukan, namun perkembangannya terasa lamban karena masyarakat tidak bisa menerima begitu saja arahan dari orang luar untuk mengubah kebiasaan atau pola hidup mereka.
Pada tahun 1999, beberapa organisasi non pemerintah (NGO) membangun kolaborasi (Yayasan KOBUS – PRCF/PRCF Indonesia – YSDK, atas dukungan Ford Foundation) dan mulai terlibat untuk menghidupkan kembali kegiatan menenun sebagai upaya alternatif untuk meningkatkan pendapatan keluarga, sekaligus untuk melestarikan seni budaya menenun itu sendiri. Upaya ini dibangun melalui suatu program yang dinamakan ”Restorasi Tenun Ikat Dayak”.
Setelah beberapa tahun kemudian, apa yang terjadi? Lain ulu’ lain parang, lain dulu lain sekarang. Sintang kini dikenal karena kain tenun ikatnya. Orang Sintang bangga mengkoleksi dan memakai kain tenun ikat, dan kain bermutu tinggi mudah ditemukan, semudah menemukan komunitas penenun yang begitu bergairah menenun di sela-sela kegiatan sehari-harinya. Bahkan pada tahun 2006 lembaga yang mewadahi kegiatan masyarakat ini, Koperasi Jasa Menenun Mandiri memperoleh penghargaan dari Menteri Perindustrian.
Sebelumnya, pada tahun 2002 program ini menjadi salah satu nara sumber pada Workshop on Best Practice Cases Studies of Regional Development Activities with Local Initiatives yang diorganisasikan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Center for Economic and Social Studies (Cess) di Pontianak, Kalimantan Barat.
Program Pemberdayaan
Apa yang telah dicapai masyarakat Sintang ini tidaklah serta merta terjadi dalam waktu singkat. Pada tahap awal program ini, beberapa hal dicoba dipetakan, yakni (a) jumlah penenun, (b)
sebaran penenun, (c) tingkat keahlian penenun, (d) produktivitas penenun, dan (e) pemasaran kain hasil tenunan. Mulanya tercatat sekitar 40-an orang penenun yang tersebar di lima
kampung, yakni Ensaid Panjang, Baning Panjang, Ransi Panjang, Umin dan Menaung. Dari sekian banyak penenun tersebut, hanya belasan orang saja yang benar-benar ahli yang umumnya telah berumur di atas 45 tahun.
Ditemukan juga bahwa produktivitas penenun relatif rendah. Untuk membuat selembar kain pua, diperlukan waktu antara 6 sampai 12 bulan. Namun hal ini bukan disebabkan oleh keterampilan yang rendah, tetapi karena mereka hanya menenun di waktu senggang
disela-sela kegiatan berladang. Disamping itu ada juga aturan tidak tertulis (tradisi oral) yang mengatur penenun dan kegiatan menenun. Sementara itu pemasaran hampir tidak dikenal karena kain tenun ini memang bukan untuk dijual melainkan untuk dipakai pada upacara atau pesta adat. Kain baru dijual kalau ada pembeli atau pengumpul yang datang ke kampung.
Para penenun yang teridentifikasi ini mulai dimotivasi melalui pembelajaran kritis untuk memberdayakan diri mereka. Mereka diajak memahami permasalahan yang dihadapi, dan menggali potensi yang mereka miliki, hingga akhirnya pada tahun 2000 masyarakat sepakat untuk berhimpun dalam kelompok yang dinamakan Kelompok Usaha Bersama Jasa Menenun Mandiri (KUBJMM).
Berbagai penguatan diberikan kepada pengurus dan anggota KUBJMM ini. Para pengurus dan wakil-wakil anggota di setiap kampung dibekali dengan pengetahun manajemen, pembukuan, dan fasilitas untuk menjalankan kegiatan simpan-pinjam dan pembelianpemasaran kain tenun ikat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pada tahun 2001 kelompok ini diubah menjadi berbadan hukum Koperasi.
Koperasi JMM ini terus berkembang. Pada akhir Januari 2006, anggotanya telah mencapai 524 orang yang tersebar di 20 kampung, dengan asset per 31 Desember 2005 sebesar Rp302.899.781,00. Koperasi ini semua pengurusnya terdiri dari kaum perempuan, dan anggotanya 98% (515 orang) adalah kaum perempuan. Jadi bisa dibayangkan aktivitas para perempuan penenun di Sintang ini, mereka tidak saja bekerja di rumah, di ladang, dan di kebun, tetapi saat ini dengan segala keterbatasannya, mereka telah mengorganisasikan diri dan menghasilkan sesuatu yang berarti. Kain tenun ikat yang mereka hasilkan tidak saja telah memberdayakan mereka secara ekonomi, tetapi juga telah menghidupkan dan melestarikan seni budaya tenun ikat Dayak itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar