Rabu, 10 November 2010

Cinta Sepenuh Hati

Cinta Sepenuh Hati

Hari itu aku tersenyum puas, tertawa lepas, setelah berhari-hari berupaya untuk memahami apa yang telah terjadi. Tangis diiringi penyesalan. Tertawa getir kemudian marah dan berakhir dengan penyesalan. Ruang yang hiruk pikuk begitu hampa. Isi kepala yang ngotot meminta penyelesaian, tapi tak kunjung aku dapatkan.
Ada apa ini? Kenapa harus terjadi seperti ini? Berkali-kali meminta ”pertolongan”, tanggapan, saran hingga lelah, kemudian kembali terpaku lagi dalam diam. Berharap ada kabar yang lebih baik sampai ke telinga ini. Berharap tak pernah berada di posisi ini… Aaaah, sungguh hari-hari yang bodoh…
Aku mengingat satu demi satu kejadian. Menyalahkan diri sendiri dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pada satu kesempatan, aku membela sesuatu yang tak pantas aku bela. Aku seperti buta dan cuma bisa diam dan diam… dengan pikiran ruwet di kepala. Marah, entah kepada siapa? Menyesal, entah menyesali apa?
Sampai suatu hari aku tersadar lewat artikel yang aku baca. Lewat teguran keras seorang teteh, lewat teman-teman yang mulai menjauh. Lewat segala hal yang tampaknya kemarin-kemarin masih terlihat buram.
Lambat laun segalanya mulai jelas. Jalan yang tadinya bercabang kini lurus. Walau aku sadar, di jalan yang lurus itu banyak bebatuan, kerikil, hingga berkali-kali aku jatuh dan meninggalkan luka yang berdarah-darah. Mencari sahabat-sahabatku yang berkali-kali, dengan caranya mengetuk pintu otak dan hatiku hingga lelah.. hingga terduduk menungguku dengan sebuah pelukan kesadaran.
”Aku ga pengen Nopi nangis lagi” ujar seorang sahabat lirih. Aku ingat kata-kata itu dan menyimpan di sudut hatiku, bagaimana dia begitu tegas setiap aku meminta pendapatnya. Tidak ada tawar-menawar. ”Mbak, tahulah yang mana yang sesuai hati nurani” ujar yang lain. ”Sorry ya,mba kalau gw tegas…” dan masih banyak lagi.
Aaah, kawan kalian memang tak bosan menasehatiku berkali-kali, hingga akhirnya aku sadar dari ”kejatuhanku” yang juga berkali-kali.
Aku sadar, aku merasa terlalu bodoh belakangan ini, hingga aku coba mencari solusi dari semua. Mencoba untuk menyambut ”tamu-tamu” yang dulu aku diamkan. Mereka adalah ”logis”, ”rasional” dan ”kesadaran diri”. Ketika mereka datang kemarin-kemarin aku malah sibuk dengan ”perasaan” dan ”emosional” yang menjadikannya timpang dan lagi-lagi aku tak sanggup menyelesaikan masalah ini. Ditambah dengan banyaknya salah paham dan tak adanya dukungan orang yang berkaitan dengan masalah yang sebenarnya tidak perlu jadi masalah… Aaah, entahlah…
Hingga di suatu hari, aku benar-benar menyadari semua ini. Tumpukan masalah di depan mata. Mulai mengerti kenapa tiap orang beda sikap dalam menangani setiap persoalan. Cara saya, cara dia, cara mereka, berbeda.
Aku mulai lagi menata dari awal berbagai hal yang tertinggal. Aku pikir aku terlalu lama fokus pada masalah ini hingga lupa, banyak hal yang juga menuntut perhatianku. Aku tegaskan juga, kalau masalah ini mungkin saja klimaks dari segala hal yang terjadi belakangan ini.
Masalah pekerjaan, pertengkaran demi pertengkaran, masalah organisasi,  pertemanan dan kualitas pribadiku yang makin menurun
Aku pikir, ini cara Allah, agar aku kembali dekat dengan-Nya. Agar aku makin memaknai cinta yang dihadirkan-Nya… Aaah, ternyata aku masih terlalu naif mengartikannya.
Hmm, aku tak menyesal dengan apa yang terjadi. Skenario Allah tetaplah yang terbaik. Bukankah aku justru ditunjukkan banyak hal yang kemarin begitu buram walau harus mengorbankan sesuatu yang pernah menjadi harapan di masa depan.
***
Ketika badai hadir, aku bersembunyi dalam sebuah pondok. Di sana aku tengah terduduk membersihkan luka yang berdarah-darah dari kerikil tajam yang melukai anggota tubuhku. Berusaha bangkit dan berlari… karena ketika badai mulai berhenti, pelangi dengan indahnya hadir di depanku bersama senyum satu per satu sahabatku.
Download sekarang MP3nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar