Perkebunan sawit dan karet telah terbukti mendongkrak ekonomi masyarakat. Mengapa lingkungan jadi korban. Ada propaganda via LSM?
Pontianak. Pada tahun 2017-2020 daerah sasaran perkebunan kelapa sawit dan karet di Kalbar akan bertambah luas mencapai 2 juta hektar tersebar di 12 kabupaten. Namun upaya untuk membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat ini sering terbentur Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan isu lingkungan.
“Jika target perkebunan ini berjalan lancar, otomatis akan dibangun pabrik guna menandingi produksi minyak matahari di Eropa, dan industri karet di Amerika,” kata Drs Cornelis MH, Gubernur Kalbar ketika menghadiri acara Muswil Muhammadiyah ke 13, belum lama ini.
Geliat negara berkembang ini untuk menuju pasar bebas memang membuat negara maju ketar-ketir. Wajar jika diembuskan isu global warming ke negara berkembang. Sementara mereka sendiri paling banyak melakukan pencemaran udara dengan industri besarnya.
“Ini trick dari negara maju yang perang pasar dagang negara maju dengan isu global warming. Pada kesempatan ini saya menjelaskan, jangan percaya dengan NGO yang diintimidasi dari negara Eropa,” ucap Cornelis.
Cornelis tak menampik dalam pengembangannya ada tanah adat yang diambil atau terabaikan. Tetapi itu dikarenakan masyarakat adat sendiri tidak memiliki dokumen dan kekuatan hukum yang tetap atas kepemilikan dokumen tanah yang lengkap.
“Masalah ini saya sampaikan ke pengadilan internasional. Saya dituduh melakukan pelanggaran HAM, padahal ini imbas dari ekspansi sawit masa lalu. Saya cerita dengan menteri lingkungan hidup bahwa mereka yang makan, kita sekarang yang cuci piring,” ujar Cornelis.
Menanggapi rencana tersebut, Direktur Lembaga Pengkajian Studi dan Arus Informasi Regional (LPS AIR) Kalbar, Deman Huri Gustira menilai, rencana tersebut bisa menimbulkan bencana bagi Kalbar. Sebab, untuk merealisasikan hal tersebut terlebih dahulu mengsingkronkan dulu Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), baru bisa merealisasikan 2 juta hektar kebun sawit dan karet.
“Draf RTRWPnya saja belum ditandatangani pusat. Kalau saya lihat drafnya cukup berbahaya. Khususnya di daerah aliran sungai (DAS). Sekarang saja banjir terjadi di beberapa titik di Kalbar dikarenakan hutan sudah banyak dibabat dan tak mampu menahan laju air,” kata Deman.
Hal ini, kata Deman, terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu dikarenakan hutannya sudah habis ditebang. “Menyangkut RTRWP belum matching. Baik dari Dinas PU Kalbar, Bapedalda dan Dishut Kalbar. Pemerintah hendaknya melakukan penyeragaman RTRWP dahulu. Draftnya sekarang ini masih dianggap buku suci. Ini harus dipublikasikan agar kita tahu daerah mana saja yang menjadi sasaran perkebunan sawit dan karet,” ujar Deman.
Jika alasan ingin mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), kata Deman, salah kaprah. Kenyataan belum ada dampak pada PAD Kalbar karena pajak dari produksi sawit dan karet ini diambil pusat. “Ini sebuah ketidakadilan. Karena pajaknya langsung diserahkan di pusat ini merugikan daerah. Sekarang ini PAD Kalbar didukung dari kendaraan bermotor,” terang Deman.
Sementara itu, Hendi Chandra dari WALHI Kalbar menuturkan kalau penanamannya hanya untuk kepentingan investasi skala besar, maka yang dikorbankan pastilah rakyat dan lingkungan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar